Get snow effect
inidiablog-nya -_-"

Promosikan Halaman Anda Juga

Selasa, 15 Maret 2011

pengantar sosiologi

Pemikiran Berger
Peter Berger  (1978) melihat adanya perbedaan penting antara manusia dengan makhluk lain (hewan). Seluruh perilaku hewan dikendalikan oleh nalurinya, sedangkan manusia pada saat dilahirkan merupakan makhluk yang tidak berdaya karena memiliki naluri yang relatif tidak lengkap. Oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaan untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri. Hewan tidak perlu menentukan kebutuhan akan makanan karena hal tersebut diatur oleh nalurinya sedangkan manusia perlu menentukan sendiri apa yang harus dimakannya yang kemudian dikukuhkannya menjadi bagian dari kebudayaan. Melalui proses seperti itulah kini kita jumpai adanya keragaman/kebiasaan makanan pokok, ada kelompok dengan makanan pokok nasi, jagung, kentang, sagu, ubi, roti dan sebagainya. Apabila hewan dengan jenis kelamin yang berbeda dapat saling berhubungan karena naluri, tetapi tidak dengan manusia.
Manusia mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan pria dan wanita dengan berbagai sistem penikahan yang berbeda antar kelompok/golongan/suku bangsa/bangsa. Keseluruhan berbagai kebiasaan manusia baik di bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, politik, sosial, agama dan sebagainya harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses sosialisasi (sosialization).
Menurut Berger, sosialisasi adalah :
” A process by which a child learns to be a participant member of society ” —- Suatu proses melalui mana seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat. Apa yang dipelajari seseorang dalam proses sosialisasi, para ahli mengatakan bahwa yang diajarkan melalui proses sosialisasi adalah peranan-peranan, sehingga teori sosialisasi sejumlah tokoh/ahli disebut “Role Theory”.
Pemikiran Mead
Salah satu teori peranan yang dikaitkan dengan sosialisasi adalah teori George Herbert Mead dalam bukunya ”Mind, Self and Society” (1972). Menurut Mead, manusia yang baru lahir belum mempunyai diri, diri manusia berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota yang lain. Menurut Meadpengembangan diri manusia berlangsung melalui tiga tahap, yaitu: play stage,game stage dan generalized other.
  • Pada tahap Play Stage, seorang  anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang lain di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan orangtuanya, atau orang dewasa lain. Dengan demikian kita sering melihat anak kecil dikala bermain meniru peranan ayah, ibu, nenek, dokter, polisi, sopir, tukang pos dan sebagainya, walaupun si anak belum memahami sepenuhnya peranan-peranan yang ditirunya. Seorang anak menirukan pekerjaan ayahnya tetapi ia tidak memahami kenapa ayahnya bekerja.
  • Pada tahap Game Stage, seorang anak tidak hanya mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi ia telah mengetahui peranan apa yang harus dijalankan orang lain.
Contoh: Dalam suatu permainan perang-perangan, si anak harus tahu apa yang diharapkan dari teman mainnya, tetapi juga apa yang diharapkan dari orang-orang lain yang ikut bermain (musuh, mata-mata, tawanan perang, rakyat biasa, kawan, dll). Dalam mempersiapkan suatu sensus dan survei, Badan Pusat Statistik melatih petugas lapangannya melalui program Bermain Peran atau Role Playing, dengan harapan pada saat pencacahan bisa diperoleh data yang obyektif, reliabel, representatif, relevan dan up to date.
  • Pada sosialisasi tahap awal, interaksi anak terbatas dalam unit yang kecil (keluarga). Pada tahap Generelazide Other seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Selaku siswa ia telah memahami peranan guru, sebagai anak ia memahami peranan orang tua, sebagai anggota perkumpulan sepak bola ia tahu peranan pelatihnya. Apabila seseorang telah mencapai tahap ini ia telah disebut mempunyai suatu ”Diri”. Melalui contoh di atas nampak dengan jelas bahwa seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain.
Pemikiran Cooley
Peranan interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley. Menurutnya konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self. yang  terbentuk melalui tiga tahap :
  1. Seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.
  2. Seseorang mempunyai pesepsi mengenai penilaian orang lain terhadapnya.
  3. Seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakan sebagai penilaian orang lain terhadapnya.
Untuk memahami pendapat Cooley, berikut disajikan sebuah contoh kasus :
Seorang peserta Program Diploma IV Statistik memperoleh nilai E untuk mata kuliah Metode Statistik. Ia merasa para dosen menganggapnya sebagai mahasiswa yang bodoh. Ia juga merasa tidak dihargai lalu ia menjadi murung. Dalam contoh ini perasaan seseorang mengenai penilaian terhadapnya menentukan penilaiannya terhadap diri sendiri, walaupun terlepas dari soal apakah dalam kenyataannya para dosen memang berperasaan demikian terhadapnya.
Apa yang terjadi bila seorang anak tidak mengalami sosialisasi.
Seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain.
Bukti konkret :  seorang anak laki-laki berusia 11 – 12 tahun yang ditemukan tahun 1990 di desa Saint-Serin Perancis dan kasus gadis usia 13 tahun di California yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak usia 1,5 tahun, setelah diketemukan anak-anak tersebut berperilaku sebagai manusia yang tidak selayaknya (mereka tidak bisa berpakaian, berbicara, mengunyah makanan, buang air besar/kecil dengan tertib dsb).
Kasus di atas memberikan kepada kita suatu gambaran mengenai apa yang akan terjadi apabila proses sosialisasi tidak dilakukan. Analog dengan kejadian di atas, kita dapat membayangkan apabila tugas mensosialisasikan suatu survei atau sensus yang akan dilakukan tidak dilaksanakan dengan secara sungguh-sungguh dan bertanggungjawab oleh para aparatnya termasuk Para Koordinator Statistik Kecamatan. Kondisi/kejadian ini tentunya bisa berakibat kurangnya respon dari para responden dalam menjawab/mengisi kuesioner yang telah disiapkan oleh Badan Pusat Statistik.
Agen Sosialisasi
Menurut Fuller  Jacobs (1973), pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi disebut sebagai  Agen Sosialisasi. Terdapat beberapa agen sosialisasi utama, antara lain:
  1. Keluarga
  2. Teman bermain
  3. Sekolah, dan
  4. Media massa
  • Keluarga
Pada awal kehidupan manusia agen sosialisasi biasanya adalah ayah, ibu, dan saudara kandung. Pada masyarakat dengan sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bisa mencakup kakek, nenek, paman, bibi, saudara sepupu, dan sebagainya. Pada masyarakat modern dimana kedua orang tua bekerja, sosialisasi dilakukan oleh orang lain (selain kerabat), seperti : tetangga, baby sitter, pekerja sosial, pembantu rumah tangga, petugas penitipan anak dan sebagainya. Peranan agen sosialisasi pada tahap awal sangat penting, karena kemampuan yang dimiliki oleh agen sosialisasi begitu berpengaruh dalam proses sosialisasi. Seorang bayi belajar berkomunikasi bukan hanya secara verbal/non verbal, ia mulai berkomunikasi tidak saja melalui pendengaran dan penglihatan, tetapi juga melalui panca indera lain, terutama sentuhan fisik (kasih sayang). Proses sosialisasi akan gagal bila dilaksanakan oleh tangan-tangan yang salah. Apalagi bila dilakukan terlambat atau terlalu dini.
  • Teman Bermain
Setelah anak dapat berjalan/bepergian, seorang anak memperoleh agen sosialisasi lain yaitu teman bermain, baik itu kerabat maupun tetangga dan teman sekolah. Melalui teman bermain seorang anak mempelajari kemampuan baru. Pada tahap ini anak mulai memasuki tahap game stage. Dalam kelompok bermain anak mulai mempelajari nilai-nilai keadilan.
  • Sekolah
Agen sosialisasi berikutnya adalah sistem pendidikan formal. Di sini seseorang mempelajari hal-hal yang belum dipelajari dalam dua agen sebelumnya. Melalui agen ini seseorang dipersiapkan menjadi anggota masyarakat, karena orangtua tidak lagi dapat mempersiapkan anak tanpa bantuan pihak lain.
Menurut Robert Dreeben (1968) selain belajar berhitung, membaca, dan menulis, anak diperkenalkan berbagai aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement) universalisme dan spesifisitas. Di lembaga ini anak mulai belajar mengurangi ketergantungan pada orang lain. Di sekolah peranan yang diraih dengan prestasi merupakan peranan yang menonjol. Seseorang didorong untuk giat belajar agar meraih sukses. Keberhasilan/kegagalan yang dicapai dapat menjadi dasar penentuan peranan di masa mendatang. Melalui universalisme anak akan diperlakukan sama sesuai tata tertib yang ada. Perlakuan berbeda hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakuan siswa di sekolah, apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak sesuai apa yang diharapkan sekolah. Di sekolah kegiatan serta penilaian siswa dibatasi secara spesifik. Ia boleh gagal terhadap suatu mata pelajaran tetapi bukan berarti tidak boleh berhasil dalam mata pelajaran lain.
  • Media Massa
Menurut Light, Keller dan Calhoun (1989) media cetak, media elektronik merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media massa diidentifikasi sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh terhadap prilaku khalayaknya. Semakin meningkat teknologi makin memungkinkan peningkatan kualitas serta peningktan frekuensi/peluang media massa berperan sebagai agen sosialisasi. Pesan-pesan yang ditayangkan media elektronik dapat mengarahkan pemirsa ke arah perilaku prososial maupun anti sosial. Adegan-adegan yang menjurus ke arah kekerasan/pornografi dapat memicu perilaku agresif anak/peningkatan perbuatan asusila dalam masyarakat. Iklan-iklan yang ditayangkan dapat memicu ke arah perilaku konsumtif dan sebagainya. Demikian pentingnya media massa sehingga agen ini dimanfaatkan untuk acara-acara yang positif seperti: pendidikan, hiburan, pesan, dan lain-lain.
Kesepadanan Agen Sosialisasi Berlainan
Pesan-pesan yang disampaikan oleh para agen sosialisasi yang berlainan ada kalanya tidak sepadan. Apa yang diajarkan oleh keluarga bisa berbeda/bertentangan dengan apa yang diajarkan di sekolah. Kelakuan yang dilarang oleh keluarga/sekolah (merokok, miras, perbuatan asusila) dipelajari oleh anak melalui agen sosial lain seperti teman bermain dan media massa. Apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen sosialisasi sepadan dan tidak saling bertentangan melainkan saling mendukung maka proses sosialisasi diharapkan dapat berjalan lancar. Namun apabila dalam masyarakat dijumpai agen sosialisasi dengan pesan yang saling bertentangan akan dijumpai kecenderungan warga masyarakat sering merasakan konflik pribadi serta merasa diombang-ambingkan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
Sosialisasi Primer dan Sekunder
Proses sosialisasi berlangsung sepanjang hayat. Dalam kaitan inilah para ahli membahas bentuk-bentuk sosialisasi, seperti: sosialisasi setelah masa kanak-kanak, pendidikan sepanjang hidup, pendidikan berkesinambungan. Sosialisasi dapat juga dibagi menjadi sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder.
Sosialisasi Primer :  sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil,  melalui mana ia menjadi anggota masyarakat.
Sosialisasi Sekunder :          merupakan proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi ke dalam sektor baru dari dunia obyektif masyarakatnya.
Salah satu bentuk sosialisasi sekunder yang banyak dijumpai dalam masyarakat adalah Proses Resosialisasi yang didahului dengan proses desosialisasiDalam proses desosialisasi seorang mengalami ”pencabutan” diri yang dimilikinya, sedangkan dalam proses resosialisasi seorang diberi ”diri” yang baru.
Rumah tahanan merupakan salah satu contoh dimana seseorang mengalami proses desosialisasi. Seorang yang berubah status dari orang bebas, kemudian tahanan dan akhirnya jadi narapidana. Ia harus menanggalkan busana bebas dan menggantinya dengan seragam tahanan, berbagai kebebasan yang semula dinikmatinya dicabut, namanya tidak digunakan tetapi diganti dengan nomor tahanan. Setelah menjalani proses yang cenderung membawa dampak terhadap citra diri dan harga diri, ia kemudian menjalani resosialisasi, dididik menerima aturan dan nilai baru untuk mempunyai diri yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Proses serupa bisa terjadi di Rumah Sakit Jiwa maupun dalam Lembaga Pendidikan Militer (Akabri, Sekolah Polisi Negara, dll).
Pola-pola Sosialisasi
  1. 1. Sosialisasi dengan cara Represif (Represive Sosialization)
Sosialisasi ini menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Sosialisasi ini memiliki ciri-ciri: penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan, penekanan pada kepatuhan anak pada orang tua, penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, non verbal dan berisi perintah, penekanan titik berat sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua.
  1. 2. Sosialisasi dengan cara Partisipasi (Participatory Socialization)
Sosialisasi cara ini merupakan pola yang di dalamnya anak diberi kebebasan, penekanan diletakkan pada interaksi, komunikasi bersifat lisan, anak menjadi pusat sosialisasi, kebutuhan anak dianggap penting.
*dari bahan materi Mata Kuliah Pengantar Sosiologi
Semester 2 Sekolah Tinggi Ilmu Statistik 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dimana yaaaa ni blog?????